26 Okt 2015

Tawasuth

oleh kang Mahfud


            Salah satu ciri umat nabi Muhammad saw yang berpegang pada prinsip Ahlussunah wal Jamaah adalah mempunyai karakter tawasuth. Yakni bersikap tengah-tengah antara dua sikap, tidak terlalu keras (fundamentalis) dan terlalu bebas (liberalisme).
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَخَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا (رواه البيهقى)
Artinya: Rasulullah saw bersabda: “Hal yang terbaik adalah yang tengah-tengah (sedang) (HR Baihaqi).
            Bersikap tengah-tengah ini meliputi berbagai bidang, baik dalam bidang akidah, fikih maupun dalam bidang akhlaq. Dalam bidang akidah umat-umat sebelum nabi Muhammad bisa tersesat dan jatuh pada kekufuran karena sangat berlebih-lebihan dalam mengagungkan seorang pimpinan. Contohnya umatnya nabi Isa karena mengagungkan nabi Isa dengan berlebihan dan akhirnya masuk pada kekufuran karena menganggap nabi Isa sebagai anak Tuhan dengan melihat berbagai kejaiban dan keistimewaan nabi Isa. Nabi Isa dianggap anak Tuhan sebab ia lahir tanpa bapak. Alasan ini sangat lemah, kalau nabi Isa yang lahir tanpa bapak saja dianggap Tuhan, bagaimana dengan nabi Adam yang lahir tanpa Ayah dan Ibu.
            Kemudian pelajaran apa yang bisa diambil dengan lahirnya nabi Isa tanpa bapak. Tentu saja ini adalah salah satu bentuk kemaha kuasaannya Allah swt. Allah kuasa menjadikan manusia tanpa ayah dan nabi Isa sebagai contohnya. Jauh sebelum nabi Isa dilahirkan Allah kuasa menciptakan manusia tanpa Ibu dan siti Hawa sebagai contohnya. Bahkan sebelum itu Allah swt telah menciptakan nabi Adam yang lahir tanpa Bapak dan juga tanpa Ibu.
            Kehebatan manusia itu tak lepas dari kekuasaan Allah swt. Allah swt dalam Al-Qur’an menceritakan peristiwa yang luar biasa yakni Isro’ Mi’roj nabi Muhammad saw. Hanya dalam satu malam saja, nabi Muhammad saw mampu melakukan perjalanan dari masjidil haram (mekah) ke masjidil Aqsho (palestina) dan naik ke langit ke 7 dan sidrotil Muntaha. Dalam menceritakan peristiwa luar biasa ini Allah swt menggunakan lafadz
سُبْحَانَ الَّذِيْ اَسْرَى بِعَبْدِهِ .............................
Artinya: “Maha suci Dzat yang telah menjalankan hamba-Nya…. (QS Al-Isro’ : 1)
Imam Nawawi dalam syarahnya kitab Sulamut Taufiq mengatakan lafadz بِعَبْدِهِ menunjukkan betapa hebatnya nabi Muhammad saw, beliau tetaplah hamba-Nya Allah. Maka dengan ini umat nabi Muhammad saw tidak akan tersesat sebagaimana umatnya nabi Isa yang karena berlebih-lebihan menganggap nabi Isa a.s adalah anak Tuhan.
            Masih ke tawasuthan dalam bidang Akidah, keyakinan Ahlussunah  terhadap sayyidina Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah orang yang shalih, beliau wali Allah swt. Beliau adalah Shahabat dan sepupu Rasulullah saw. Kecerdasan Sayyidina Ali bi Abi Thalib sangat luar biasa. Kalau Nabi Muhammad saw diibaratkan sebagai gudangnya Ilmu pengetahuan, maka sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah pintunya. Namun demikian tidak lantas kita menganggap sayyidina Ali sebagai Rasul.
            Keyakinan yang keliru dari sebagian kelompok syiah adalah menganggap malaikat Jibril keliru dalam menurunkan wahyu yang seharusnya kepada sayyidina Ali malah kepada nabi Muhammad saw. Ini termasuk keyakinan yang tidak benar berlebih-lebihan dalam mengagungkan sayyidina Ali sampai mempunyai akidah yang tidak benar, na’udzu billah.
            Kemudian dari itu mengagungkan Ahli bait juga termasuk bagian dari masalah Agama. Mengagungkan keturunan Rasulullah saw dari jalur siti Fatimah yakni mengagungkan sayyidina Hasan dan sayyidina Husain.  Dalam konteks kekinian ada fenomena yang sangat menarik akibat buah tidak tawasuth dalam menyikapi sesuatu. Tathbir yakni mengucurkan darah dari kepala yang dilakukan oleh kaum syiah Rafidhoh setiap tanggal 10 Muharam, sebagai bentuk rasa penyesalan dan penebusan dosa atas terbunuhnya Sayyidina Husain oleh Yazid bin Muawiyah.
            Itulah bentuk contoh perilaku tidak tawasuth yang perlu dihindari bahkan tidak sedikit Ulama yang menyebut perbuatan itu adalah bentuk bid’ah Dholalah. Menyakiti diri sendiri sangat bertentangan fitrah manusia, juga bertentangan dengan firman Allah swt. Sebab kita dilarang menjatuhkan diri pada kerusakan.


   

28 Sep 2015

Tentang Qodho dan qodar

Ini pernah saya bahas di FB: Mahfud
yang intinya begini  :
Sudah sangat sering saya sampaikan ( di hadapan teman-teman santri, saya sampaikan sebagaimana keterangan dari Guru-Guru saya) tentang akidah Ahlussunah wal Jamaah terkait dengan qodho dan Qodar dari Allah 
"khoirihi wa syarrihi min Allah"
baik dan buruknya adalah dari Allah swt, Hakikinya amal manusia sekalipun baik dan buruk adalah atas kehendak Allah (rukun islam ke 6). Namun masalah nisbat hendaknya kebaikan kepada Allah, sedangkan nisbat keburukan hendaknya kepada diri kita.
sebagaimana dalam QS surat an-Nisa ayat 79
.................مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
artinya: "Kebajikan apa pun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah dan keburukan apa pun yang menimpamu itu dari (kesalahan) dirimu sendiri............"
atau kita juga mengambil dari pesan tersirat dari al-Qur'an surat asy syuaraa ayat 80 sbb:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
artinya: "dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku",
kita bisa mengambil pelajaran bahwa "sakit" itu mewakili sesuatu yang buruk, maka nisbatnya kepada aku (manusia) sedangkan "sembuh" itu mewakili sesuatu yang baik, maka nisbatnya kepada Dia (Allah)
Dari sini Akidah Ahlussunah wal Jamaah disimpulkan oleh Ulama-Ulama terdahulu bahwa menisbatkan kebaikan (misal rajin Shalat) kepada Allah dengan mengucapkan: Saya mampu shalat dengan tertib tak lain atas pertolongan dari Allah swt. Sedangkan hal yang buruk (misal: menyakiti orang lain) hendaknya dinisbatkan kepada dirinya sendiri dengan mengucapkan: saya menyakiti orang lain itu tak lain karena kesalahan dan kebodohan saya...
Seandainya orang yang berbuat buruk (misal mencuri) kemudian berkata ini semua adalah atas taqdir dari Allah maka ini termasuk suul adab (buruk tatakramanya) dan harus dihindari.
referensi:
1. Kitab Husunul hamidiyah
2. Al-Qur'anul Karim
3. Al-Hadits
4. Dawuhe poro Kiai