Dalam shalat berjamaah tidak
diperbolehkan sembarangan dalam menentukan siapa yang pantas menjadi imam.
Dalam Kitab-kitab Fikih karya Ulama terdahulu disebutkan bolehnya budak menjadi
Imam apabila makmumnya adalah orang merdeka. Namun yang lebih utama adalah
menjadi Imam adalah orang yang merdeka. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhori . Sesungguhnya Siti ‘Aisyah menjadi makmum sedang Imamnya
adalah budaknya yang bernama dzakwan. Sedangkan Anak yang belum baligh tapi
sudah mumayiz, boleh menjadi imam. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam
bukhori diceritakan bahwa Pada masa Rasulullah saw Umar bin Salamah pernah
menjadi Imam shalat untuk kaumnya sedang ia berusia 7 atau 6 tahun. Adapun yang
lebih utama menjadi imam adalah orang yang sudah baligh daripada anak yang
belum baligh walaupun lebih pandai.Sedangkan anak yang belum baligh serta belum
mumayiz, maka tidak boleh menjadi imam, karena shalatnya belum sah.
Tidak diperbolehkan atau tidak
sah seorang laki-laki bermakmum kepada seorang wanita. Hal ini berdasar pada
firman Allah swt : Laki-laki itu adalah pemimpin bagi perempuan karena Allah telah
mengunggulkannya atas sebagian mereka............... ( QS An-Nisa’ :
34). Juga hadits yang diriwiyatkan oleh Imam Ibnu Hibban bahwa Rasulullah saw
bersabda : Ingat, Jangan menjadi Imam seorang perempuan atas orang laki-laki.
Sebagian ulama berhujjah dengan Sabda Rasululah saw : Tidak akan beruntung seorang kaum
kalau dipimpin oleh seorang wanita ( HR bukhori, Nasa’i, Tirmidzi dan
Ahmad bin Hambal ). Demikian pula tidak diperbolehkan orang yang ahli membaca
al-qur’an bermakmum pada Ummiy (orang yang tidak pandai membaca al-Qur’an/tidak
hafal surat al Fatihah). Hal ini berdasarkan pada hadits, Dan telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basyar kata Ibnul Mutsanna; telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin
Ja’far dari Syu’bah dari Ismail bin Raja’ katanya; aku
mendengar Aus bin Dham’aj mengatakan; Aku mendengar Abu
Mas’udberkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada
kami: “Hendaknya yang berhak
menjadi imam suatu kaum adalah yang paling banyak dan paling baik bacaan
kitabullah (alquran), jika dalam bacaan sama, maka yang paling dahulu hijrah,
jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dewasa. (HR. Muslim no.1079, Abu Daud
no.1079, Ahmad no.21308, Ibnu Majah no.970). berdasarkan hadits di atas tidak
diperbolehkan menjadikan Imam seorang yang ummiy dikarenakan Imam menanggung
bacaan makmum, sedang orang yang ummiy tak mampu menanggung. Termasuk dalam
kategori ummiy adalah al-arot yakni orang yang meng idzghomkan huruf satu pada
huruf yang lain tetapi tidak pada tempatnya. Demikian juga termasuk ummiy
adalah al-altsagh yakni orang yang mengganti huruf satu dengan huruf yang lain,
seperti mengganti ro’ dengaan ghoin. Demikian juga tidak diperbolehkan
bermakmum terhadap orang yang tidak mampu mengucapkan tasydid. Sedangkan orang
yang ummiy bermakmum kepada orang yang ummiy hukumnya sah, sebagaimana orang
wanita bermakmum pada orang wanita.
Bagaimana hukumnya bermakmum pada
seseorang yang shalat sirriy dan kita tidak tahu apakah imamnya ummiy atau
bukan? Hukumnya sah, tidak wajib membahasya. Imam tersebut dihukumi sebagaimana
umumnya imam yang tidak ummiy. Berbeda apabila Imam sengaja mensirikan
bacaannya sedang shalat yang dilakukan adalah shalat Jahr, bukan karena lupa,
maka makmum wajib mengulangi sebab diyakini bahwa Imam seorang yang ummiy.
Bagaimana hukum bermakmum pada
Imam yang mensirrikan bacaan al Fatihah ? Menurut madzhab syafi’i hukum membaca
basmalah dalam al Fatihah, adalah wajib, tidak sah shalat seseorang tanpa
membaca basmalah. Apabila menemukan Imam yang mensirikan basmalah, selama
makmum tidak meyakini bahwa Imam tersebut tidak membaca basmalah, maka
shalatnya tetap sah. Sedangkan kalau makmum meyakini bahwa Imamnya tidak
membaca basmalah, maka shalatnya tidak sah. [Fath al-Muin Hamisy I’anah
al-Thalibin (II): 49-50, Nihayah Zain: 127, Maktabah Shameela).
Adapun hukum bermakmum pada orang
fasiq, para ulama berbeda pendapat antara yang memperbolehkan dan ada yang
tidak memperbolehkan. (Bidayah al-Mujtahid, hal. 105) Dan diperbolehkan shalat
di belakang (bermakmum) kepada orang fasik, hal ini berdasarkan pada perkataan
Nabi “shalatlah kalian semua di belakang orang yang mengucapkan lafadz Laa
Ilaaha illa Allah dan di depan orang yang mengucapkan lafadz Laa Ilaaha illa Allah”
dan karena sesungguhnya Ibnu Umar Ra. mendirikan shalat di belakang orang yang
ahli perdebatan dengan kefasikkannya. (al-Muhadzab fii Fiqh al-Imam al-Syafi’i,
bab Sifat al-Aimmah).
daftar Pustaka : Kitab Kifayatul Akhyar
daftar Pustaka : Kitab Kifayatul Akhyar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
From : Mahfud