20 Des 2013

Kriteria Menjadi Imam


Dalam shalat berjamaah tidak diperbolehkan sembarangan dalam menentukan siapa yang pantas menjadi imam. Dalam Kitab-kitab Fikih karya Ulama terdahulu disebutkan bolehnya budak menjadi Imam apabila makmumnya adalah orang merdeka. Namun yang lebih utama adalah menjadi Imam adalah orang yang merdeka. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori . Sesungguhnya Siti ‘Aisyah menjadi makmum sedang Imamnya adalah budaknya yang bernama dzakwan. Sedangkan Anak yang belum baligh tapi sudah mumayiz, boleh menjadi imam. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam bukhori diceritakan bahwa Pada masa Rasulullah saw Umar bin Salamah pernah menjadi Imam shalat untuk kaumnya sedang ia berusia 7 atau 6 tahun. Adapun yang lebih utama menjadi imam adalah orang yang sudah baligh daripada anak yang belum baligh walaupun lebih pandai.Sedangkan anak yang belum baligh serta belum mumayiz, maka tidak boleh menjadi imam, karena shalatnya belum sah.
Tidak diperbolehkan atau tidak sah seorang laki-laki bermakmum kepada seorang wanita. Hal ini berdasar pada firman Allah swt : Laki-laki itu adalah pemimpin bagi perempuan karena Allah telah mengunggulkannya atas sebagian mereka............... ( QS An-Nisa’ : 34). Juga hadits yang diriwiyatkan oleh Imam Ibnu Hibban bahwa Rasulullah saw bersabda : Ingat, Jangan menjadi Imam seorang perempuan atas orang laki-laki. Sebagian ulama berhujjah dengan Sabda Rasululah saw : Tidak akan beruntung seorang kaum kalau dipimpin oleh seorang wanita ( HR bukhori, Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad bin Hambal ). Demikian pula tidak diperbolehkan orang yang ahli membaca al-qur’an bermakmum pada Ummiy (orang yang tidak pandai membaca al-Qur’an/tidak hafal surat al Fatihah). Hal ini berdasarkan pada hadits,  Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basyar kata Ibnul Mutsanna; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Ismail bin Raja’ katanya; aku mendengar Aus bin Dham’aj mengatakan; Aku mendengar Abu Mas’udberkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami: “Hendaknya yang berhak menjadi imam suatu kaum adalah yang paling banyak dan paling baik bacaan kitabullah (alquran), jika dalam bacaan sama, maka yang paling dahulu hijrah, jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dewasa. (HR. Muslim no.1079, Abu Daud no.1079, Ahmad no.21308, Ibnu Majah no.970). berdasarkan hadits di atas tidak diperbolehkan menjadikan Imam seorang yang ummiy dikarenakan Imam menanggung bacaan makmum, sedang orang yang ummiy tak mampu menanggung. Termasuk dalam kategori ummiy adalah al-arot yakni orang yang meng idzghomkan huruf satu pada huruf yang lain tetapi tidak pada tempatnya. Demikian juga termasuk ummiy adalah al-altsagh yakni orang yang mengganti huruf satu dengan huruf yang lain, seperti mengganti ro’ dengaan ghoin. Demikian juga tidak diperbolehkan bermakmum terhadap orang yang tidak mampu mengucapkan tasydid. Sedangkan orang yang ummiy bermakmum kepada orang yang ummiy hukumnya sah, sebagaimana orang wanita bermakmum pada orang wanita.
Bagaimana hukumnya bermakmum pada seseorang yang shalat sirriy dan kita tidak tahu apakah imamnya ummiy atau bukan? Hukumnya sah, tidak wajib membahasya. Imam tersebut dihukumi sebagaimana umumnya imam yang tidak ummiy. Berbeda apabila Imam sengaja mensirikan bacaannya sedang shalat yang dilakukan adalah shalat Jahr, bukan karena lupa, maka makmum wajib mengulangi sebab diyakini bahwa Imam seorang yang ummiy.
Bagaimana hukum bermakmum pada Imam yang mensirrikan bacaan al Fatihah ? Menurut madzhab syafi’i hukum membaca basmalah dalam al Fatihah, adalah wajib, tidak sah shalat seseorang tanpa membaca basmalah. Apabila menemukan Imam yang mensirikan basmalah, selama makmum tidak meyakini bahwa Imam tersebut tidak membaca basmalah, maka shalatnya tetap sah. Sedangkan kalau makmum meyakini bahwa Imamnya tidak membaca basmalah, maka shalatnya tidak sah. [Fath al-Muin Hamisy I’anah al-Thalibin (II): 49-50, Nihayah Zain: 127, Maktabah Shameela).
Adapun hukum bermakmum pada orang fasiq, para ulama berbeda pendapat antara yang memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan. (Bidayah al-Mujtahid, hal. 105) Dan diperbolehkan shalat di belakang (bermakmum) kepada orang fasik, hal ini berdasarkan pada perkataan Nabi “shalatlah kalian semua di belakang orang yang mengucapkan lafadz Laa Ilaaha illa Allah dan di depan orang yang mengucapkan lafadz Laa Ilaaha illa Allah” dan karena sesungguhnya Ibnu Umar Ra. mendirikan shalat di belakang orang yang ahli perdebatan dengan kefasikkannya. (al-Muhadzab fii Fiqh al-Imam al-Syafi’i, bab Sifat al-Aimmah).

daftar Pustaka : Kitab Kifayatul Akhyar






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

From : Mahfud