Salah satu ciri umat
nabi Muhammad saw yang berpegang pada prinsip Ahlussunah wal Jamaah adalah
mempunyai karakter tawasuth. Yakni bersikap tengah-tengah antara dua sikap,
tidak terlalu keras (fundamentalis) dan terlalu bebas (liberalisme).
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَخَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا (رواه
البيهقى)
Artinya: Rasulullah saw bersabda: “Hal yang terbaik adalah yang
tengah-tengah (sedang) (HR Baihaqi).
Bersikap
tengah-tengah ini meliputi berbagai bidang, baik dalam bidang akidah, fikih
maupun dalam bidang akhlaq. Dalam bidang akidah umat-umat sebelum nabi Muhammad
bisa tersesat dan jatuh pada kekufuran karena sangat berlebih-lebihan dalam
mengagungkan seorang pimpinan. Contohnya umatnya nabi Isa karena mengagungkan
nabi Isa dengan berlebihan dan akhirnya masuk pada kekufuran karena menganggap
nabi Isa sebagai anak Tuhan dengan melihat berbagai kejaiban dan keistimewaan
nabi Isa. Nabi Isa dianggap anak Tuhan sebab ia lahir tanpa bapak. Alasan ini
sangat lemah, kalau nabi Isa yang lahir tanpa bapak saja dianggap Tuhan,
bagaimana dengan nabi Adam yang lahir tanpa Ayah dan Ibu.
Kemudian
pelajaran apa yang bisa diambil dengan lahirnya nabi Isa tanpa bapak. Tentu
saja ini adalah salah satu bentuk kemaha kuasaannya Allah swt. Allah kuasa
menjadikan manusia tanpa ayah dan nabi Isa sebagai contohnya. Jauh sebelum nabi
Isa dilahirkan Allah kuasa menciptakan manusia tanpa Ibu dan siti Hawa sebagai
contohnya. Bahkan sebelum itu Allah swt telah menciptakan nabi Adam yang lahir
tanpa Bapak dan juga tanpa Ibu.
Kehebatan
manusia itu tak lepas dari kekuasaan Allah swt. Allah swt dalam Al-Qur’an
menceritakan peristiwa yang luar biasa yakni Isro’ Mi’roj nabi Muhammad saw.
Hanya dalam satu malam saja, nabi Muhammad saw mampu melakukan perjalanan dari
masjidil haram (mekah) ke masjidil Aqsho (palestina) dan naik ke langit ke 7
dan sidrotil Muntaha. Dalam menceritakan peristiwa luar biasa ini Allah swt
menggunakan lafadz
سُبْحَانَ الَّذِيْ اَسْرَى
بِعَبْدِهِ .............................
Artinya: “Maha suci Dzat yang telah menjalankan hamba-Nya…. (QS Al-Isro’ : 1)
Imam Nawawi dalam syarahnya kitab Sulamut
Taufiq mengatakan lafadz بِعَبْدِهِ menunjukkan betapa hebatnya nabi Muhammad
saw, beliau tetaplah hamba-Nya Allah. Maka dengan ini umat nabi Muhammad saw
tidak akan tersesat sebagaimana umatnya nabi Isa yang karena berlebih-lebihan menganggap
nabi Isa a.s adalah anak Tuhan.
Masih
ke tawasuthan dalam bidang Akidah, keyakinan Ahlussunah terhadap sayyidina Ali bin Abi Thalib. Beliau
adalah orang yang shalih, beliau wali Allah swt. Beliau adalah Shahabat dan
sepupu Rasulullah saw. Kecerdasan Sayyidina Ali bi Abi Thalib sangat luar
biasa. Kalau Nabi Muhammad saw diibaratkan sebagai gudangnya Ilmu pengetahuan,
maka sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah pintunya. Namun demikian tidak lantas
kita menganggap sayyidina Ali sebagai Rasul.
Keyakinan
yang keliru dari sebagian kelompok syiah adalah menganggap malaikat Jibril
keliru dalam menurunkan wahyu yang seharusnya kepada sayyidina Ali malah kepada
nabi Muhammad saw. Ini termasuk keyakinan yang tidak benar berlebih-lebihan
dalam mengagungkan sayyidina Ali sampai mempunyai akidah yang tidak benar,
na’udzu billah.
Kemudian
dari itu mengagungkan Ahli bait juga termasuk bagian dari masalah Agama.
Mengagungkan keturunan Rasulullah saw dari jalur siti Fatimah yakni
mengagungkan sayyidina Hasan dan sayyidina Husain. Dalam konteks kekinian ada fenomena yang
sangat menarik akibat buah tidak tawasuth dalam menyikapi sesuatu. Tathbir yakni
mengucurkan darah dari kepala yang dilakukan oleh kaum syiah Rafidhoh setiap
tanggal 10 Muharam, sebagai bentuk rasa penyesalan dan penebusan dosa atas
terbunuhnya Sayyidina Husain oleh Yazid bin Muawiyah.
Itulah
bentuk contoh perilaku tidak tawasuth yang perlu dihindari bahkan tidak sedikit
Ulama yang menyebut perbuatan itu adalah bentuk bid’ah Dholalah. Menyakiti diri
sendiri sangat bertentangan fitrah manusia, juga bertentangan dengan firman
Allah swt. Sebab kita dilarang menjatuhkan diri pada kerusakan.