MENYEDIAKAN MAKAN BAGI PENTAKZIAH
MUKTAMAR I NAHDLATUL
ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H
/ 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA
Keluarga Mayit Menyediakan
Makanan Kepada Penta’ziyah
Soal : Bagaimana hukumnya keluarga
mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang
berta’ziyah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud
bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah ia (keluarga) memperoleh pahala
sedekah tersebut?
Jawab : Menyediakan makanan pada hari wafat
atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus
dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang
hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala sedekah itu.
Keterangan :
1. Dalam Kitab I’anah al- Thalibin:
وَ
يُكْرَهُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ الْجُلُوْسِ لِلتَّعْزِيَةِ وَصَنْعُ طَعَامٍ
يُجْمِعُوْنَ النَّاسَ عَلَيْهِ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ
عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قاَلَ كُنَّا نَعُدُّ الْإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ
الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ.
“Dan makruh [dibenci] hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk
bersama orang-orang yang sengaja diundang untuk berta’ziyah dan
menghidangkan makanan bagi mereka, sesuai dengan riwayat Ahmad dari
Jarir bin Abdullah al-Bajali, yang mengemukakan: “Kami menganggap
berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada
mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian ratapan (yang
dilarang)”.
2. Dalam Kitab Al-Fatawa al-Kubra:
وفي
الفتاوى الكبرى فى أوائل الجزء الثانى ما نصه (وَسُئِل) أَعَادَهُ اللهُ
عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَ يُحْمَلُ
مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَ يُتَصَدَّقُ بِهِ
عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ ثَالِثَ مَوْتِهِ مِنْ
تَهْيِئَةِ أَكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَ غَيْرِهِمْ وَ عَمَّا
يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَ عَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ
الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ التِي
حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَ لَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى
عَادَةِ أَهْلِ الْبِلاَدِ حَتىَّ أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ
مَمْقُوْتًا عِنْدَ هُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَأُوْنَ بِهِ وَ هَلْ إِذَا
قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَ التَّصَدَّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيْرَةِ
أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازًا أَوْ
غَيْرَهُ. وَ هَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى انْصِبَاءِ الْوَرَرَثَةِ
عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَ إِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَ عَنِ
الْمَيِّتِ عِنْدَ أَهْلِ المَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ
لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ)
بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ
الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ
شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرَثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ
شَيْءٍ مِنْهُ دَفَعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَ حَوْضِهِمْ فِي عَرْضِهِ
بِسَبَبِ التَّرْكِ. يرْجَى أَنْ يَكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا
مَنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي
الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَ عَلَّلُوْا بِصَوْنِ
عَرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ
وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ
كَانَ فِيْهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ
رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ.
“Imam Ibnu Hajar
ditanya -semoga Allah mengembalikan barakahnya kepada kita-,
bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa
di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali
kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam
bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian
halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap
sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang
menghadiri prosesi ta’ziyah jenazah. Mereka melakukan semua itu
tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat
sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan
ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan
bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya,
boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan
ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah,
walaupun sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan
sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu
bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut
anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”; bagaimana
hukumnya? Beliau menjawab: semua yang dilakukan sebagaimana yang
ditanyakan di atas termasuk bid’ah yang tercela tetapi tidak sampai
haram (makruh); kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah
ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara
berlebihan (ratsa’) pada keluarga mayit. Dalam melakukan prosesi
tersebut ia harus bertujuan menangkal “ocehan” orang-orang bodoh, agar
mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau
melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian,
diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam. terhadap seseorang yang batal (karena
hadats) shalatnya untuk menutup hidung dengan tangan (seakan-akan
hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika
ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat. Dan tidak boleh
diambil/dikurangi dari tirkah seperti kasus di atas. Sebab, tirkah yang
belum dibagikan mutlak harus dijaga utuh, atau ahli warisnya sudah
pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu
digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris)”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
From : Mahfud