14 Apr 2012

TIDAK SEMUA BIDAH SESAT

Embun pagi belum lama lenyap diterpa sinar pagi, disamping itu udara pagi terasa adem, karena diselingi dengan rintikan hujan kecil dan hembusan angin.
Mulai pukul 08.00. satu demi satu jama’ah sudah memadati ruangan dialog interaktif yang bertempat di Madrasah Muhadloroh putra Ponpes. Sirojuth Tholibin Brabo Tanggungharjo Grobogan (6/1/2011).
Hingga pukul 09.00 acara itu belum dimulai, karena narasumber belum tampak hadir, sejurus kemudian setelah pukul 09.30 acara bisa dimulai dengan kerawuhan sang Pemateri Habib Novel bin Muhammad Alaydrus dari Solo dengan sebuah tema “Bedah Bid’ah dalam perspektif Sunnah” dengan dipandu moderator Gus Maisur Lutfi.

Seminar yang diadakan pertama kalinya di Pondok Pesantren Sirojuth tholibin ini, mengupas tuntas seputar bid’ah, satu kata yang membuat sebuah perpecahan di kalangan umat islam, karena banyak golongan yang pro kontra terhadap tahlilan, maulidan dan yasinan yang mengatakan bahwa amaliyah-amaliyah tersebut adalah bid’ah (hal yang baru yang dibuat-buat) yang sesat setelah nabi wafat, pada muaranya para pelaku amalan tadi, akan ditempatkan di neraka. Disamping itu, tendensi mereka adalah dari sebuah hadits yang berbunyi “Kullu bid’atin dlolâlah, Wakullu dlolatin fin nâr”. Hadits tersebut perlu di telaah dari sudut makna bid’ah secara jeli dengan pengetahuan yang cukup sehingga tidak menjastifikasi kelompok-kelompok tententu.
Makna bid’ah
Untuk mengetahui makna bid’ah, kita harus mengetahui makna sunnah, karena bid’ah itu sesuatu yang bertentangan dengan sunnah. Tetapi makna sunnah itu sendiri sebenarnya terdapat berbagai pendapat ulama’ sesuai dengan bidangnya masing-masing. Secara global, makna sunnah adalah segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW
Bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya. Dalam kamus Munjid halaman 29 menyatakan والبدعة لغة كل شيء عمل علي غير مثال سابق bahwa bid’ah adalah sesuatu yang baru diciptakan dan tidak ada contohnya terlabih dahulu.
Sedangkan dalam Al Qur’an sesuai firman Allah الله بديع السموات والارض yang artinya Allah yang berbuat bid’ah terhadap langit dan bumi maksudnya bahwa Allah SWT yang telah menciptakan langit dan bumi. Sehingga Allah bersifat badhi’
Pemahaman hadis yang salah
Banyak dari kalangan yang mengkafirkan tentang amalan-amalan semisal tahlil, haul dll. Menurut mereka, semua itu adalah bid’ah sesat yang konsekuensinya akan masuk neraka. Pemahaman semacam itulah yang perlu diluruskan, karena pemahaman mereka, berangkat dari kesalahan dalam memahami makna hadits “Kullu bid’atin dlolâlah, Wakullu dlolatin fin nâr” dimana hadits tadi, tidak ada keterangannya dalam kitab Shohih Bukhori dan Shohih Muslim yang ada hanya di kitab Imam Ibnu Majah, Imam Ahmad, Imam Abu Dawud dan Imam Nasa’I yang bunyinya.
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.
Sedangkan makna lafadz kullu pada kalimat “Kullu mukhdatsatin wakullu bid’atun dlolâlah, Wakullu dlolatin fin nâr”apakah menunjukkan makna semua bid’ah? kita buktikan baik dalam Al Qur’an atupun dalam Haditsnya, karena kita tidak boleh mengambil pemahaman dari sebuah hadits hanya dengan kaidah bahasa arab.
Pertama, dalam Al Qur’an surat Al Kahfi ayat 79
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Kata kulla dalam kalimat kulla safinatin ghosba menunjukkan arti bahwa tidak semua kapal akan dirampas oleh raja yang dholim tetapi ada pengecualiannya yaitu kapal yang tidak cacatlah yang akan dirampas . Maka Nabi Khidzir mencacati atau membuat cacat pada kapal yang ditumpangi bersama Nabi Musa.
Begitu juga sama dengan kata kullu yang terdapat pada kalimat “Kullu mukhdatsatin wakullu bid’atun dlolâlah, Wakullu dlolatin fin nâr” tidak semua bid’ah itu sesat, tetapi ada sebagian yang tidak sesat.
Kedua, Hal diatas juga di pertegas dengan keterangan yang ada dalam redaksi hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad, sekaligus maksud dari kalimat وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ yaitu :
قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ )
Hadits diatas berkaitan dengan kata-kata mukhdats (hal baru), hal baru yang bagaimana yang sesat?, ternyata hal baru yang tidak berasal dari Nabi yaitu dari Al Qur’an dan Sunnah. Itulah yang membedakan sesuatu yang baru yang tertolak (roddun) dan yang tidak tertolak .
Satu contoh lagi yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada yang dlolalah (sesat) dan hasanah (bagus) yaitu ucapan Sayyidina Umar ra. نِعْمَتْ الْبِدْعَة( bid’ah ini yang bagus), yaitu ketika beliau menyelenggarakan sholat tarawih dengan berjama’ah. Hal itu memberikan pengertian bahwa Sayyidina Umarpun membagi bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk.
Berangkat dari hal diatas, maka Imam Syafi’I membagi bid’ah menjadi dua : Pertama, bid’ah mahmudah yaitu bid’ah yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits. Kedua, bidah madzmumah yaitu bid’ah yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits.
Maka dapat disimpulkan bahawa hadits “Kullu mukhdatsatin wakullu bid’atun dlolâlah, Wakullu dlolatin fin nâr” memberikan kejelasan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, tetapi ada sebagian yang sesat dan ada sebagian yang tidak sesat. Terus yang bagaimana yang dikatakan sesat ? yang sesuai dengan keterangan hadits “Man ahdatsa fi amrina hâdzâ mâ laisa minhu fahuwa rod” (HR. Muslim) yaitu sesutu yang tidak berasal dari nabi yaitu Al Qur’an dan Sunnahnya.
Bertanya pada ulama’ ahli dzikir
Disamping kita dalam memahami hadits sesuai dengan Al qur’an dan Hadits, kita juga harus bertanya kepada ulama’ yang ahli dzikir, supaya tidak tersesat dalam pemahaman, karena Alqur’an juga mengarahakan untuk demikian. kalau kita hanya berpedoman pada Al Qura’an dan sunnah dengan tanpa adanya guru maka kita akan tersesat.
اهدنا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Artinya : tunjukkanlah kami jalan yang lurus maksudnya jalannya orang-orang yang diberi ni’mat, diantaranya adalah ulama, syuhada’ . Itulah yang diajarkan Al Qur’an dan Sunnah.
Rosulul;lah tidak mengajarkan kita untuk kembali kepada Al Qur’an dan sunah nabi tetapi kemabli keepada Al Qur’an dan Sunnah nabi lewat ulama’ dengan adanya keterangnan hadits nabi yang lebih masyhur dari riwayat Imam tirmidzi yang berbunyi
تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي (سنن ترمذى)
Sayyid Maliki membahas hadis tadi, mengapa kita harus kembali kepada Hadits dan Al Qur’an lewat ahlu Bait Nabi ? karena tidak ada yang bisa memahami hadits nabi kecuali ahul bayt beliau, atau para shobat yang berguru kepada Ahlul Bayt . hadits diatasc memberikan pengertian yang berarti bahwa kita dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah nabi harus lewat ulama’.
Bid’ah sebelum nabi wafat
Sebenarnya bid’ah itu sudah terjadi dari dahulu ketika nabi masih hidup, diceritakan Rosullullah pernah berjama’ah kepada shohabat, saat I’tidal ada shohabat yang berdo’a اللَّهُمَّ رَبّنَا وَلَك الْحَمْد حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ. Setelah selesai sholat nabi bertanya siapa yang berdo’a saat I’tidal dengan do’a sepeti اللَّهُمَّ رَبّنَا وَلَك الْحَمْد حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ? shohabat tidak ada yang berani mengaku, karena kala itu tidak diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Tetapi setelah nabi menjelaskan bahwa 30 lebih malaikat berebut mencatat pahalanya. baru setelah itu, shobat yang berdo’a tadi mengaku.
Suatu ketika hari sabtu saat shohabat ke masjid kubah mereka bermakmum sholat kepada anak muda yang cukup aneh, setiap selesai membaca surat apapun, ditutup dengan surat ikhlas baik roka’at pertama maupun kedua. Shohabat yang menjadi makmum menegurnya, mengapa ia melakukan hal semacam itu, itu namamnya bid’ah (hal baru yang Nabi tidak mencontohkan), maka shohabat pada hari sabtu berikutnya menanyakan perihal kejadian tersebut, setelah nabi mendengarkan cerita dari shohabat yang menjadi makmum, diundanglah anak muda tadi “apakah benar kamu melakukan semacam itu?” “ia nabi” jawab anak muda tadi. “mengapa”tanya nabi “karena saya cinta surat ikhlas, di situ terdapat sifat-sifat Ar Rohim” maka nabipun bersabda “siapa yang cinta surat ikhlas masuk surga”. Cerita diatas memberikan keterangan bahwa nabi melakukan taqrirnya (ketetapan) dengan tidak melarang tindakan yang telah dilakukan shohabat muda yang menjadi imam ataupun do’a yang diucapkan shohabat saat I’tidal.
Bid’ah setelah nabi wafat
Saat Syyidina Umar ra. bertemu sayyidina Abu Bakar ra yang saat itu menjadi kholifah, ia memikul kain ke pasar, maka ditanyalah Sayyidina Abu Bakar ra mengapa melakukan hal itu? Dijawab oleh Sayyidina Abubakar “kalau saya tidak bekerja, siapa yang akan menghidupi keluarga saya?” maka Sayyidina Umar mengumpulkan shohabat dan memberikan usulan agar ada gaji untuk kholifah yang sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi ternyata setelah berjalan beberapa tahun, istri Sayyidina Abu Bakar ra masih bisa membeli manisan, dengan cara hasil gaji tadi di tabung, Abu Bakar mengetahui apa yang dilakukan istrinya, maka beliau memanggil Bendahara negara agar mengurangi gajinya .
Satu hal lagi tenatng bid’ah , yaitu tentang pengumpulan mushaf yang dibukukan saat kekholifahan Sayyidina Usman ra, yang kemudian disebut dengan mushaf Usmani, setelah itu muncul penulisan titik, penulisan harokat sampai pada munculnya ilmu tajwid (ilmu baca Al Qur’an).
Hal itu menunjukkan bahwa bid’ah juga dilakukan oleh shohabat dan munculnya bid’ah juga karena menyesuaikan kebutuhan jaman dengan tidak bertentangan dengan Al Qur’an Dan Sunah.
Tabaruk
Tabaruk adalah mengambil berkah dari Allah, karena yang maha memberikan berkah adalah Allah SWT. Hanya saja, dimanakah Allah SWT meletakkan keberkahan tadi, keberkahan itu bisa di letakkan di sebuah tempat seperti di Makkah, atau pada waktu seperti Bulan Romadhon, atau pada perjalanan seperti perjalanan Isro’ mi’roj Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Harom sampai pada Masjidil Aqsho dan sekelilingnya yang diberkahi, atau pada diri seseorang seperti pada diri Nabi Muhammad SAW, diceritakan dalam sebuah hadits bahwa saat nabi mencukur rambutnya (tahallul) nabi memerintahakan shahabat untuk bertabaruk dengan mengambil rambut nabi, ada yang mendapat sehelai ada yang tiga helai, termasuk shohabat Kholid Bin Walid seorang panglima perang yang selalu menang karena tabaruk dengan membawa sehelai rambut nabi yang diletakkan di topi perangnya.
Semisal lagi, keberkahan yang di letakkan Allah pada diri siti Maryam saat nabi Zakaria memasuki mihrobnya Siti Maryam, selalu ada makanan kurma yang berasal dari Allah SWT, mengetahui keberkahan yang muncul pada tempat itu, maka seketika Nabi Zakaria berdo’a agar mempunyai keturunan sehingga di kabulkan Allah SWT dan lahirlah Nabi Yahya begitu juga keberkahan yang diberikan Allah SWT pada diri Syaih Abdul Qodir Jailani, semua itu pada hakikatnya adalah mempercayai keberkahan yang diturunkan Allah kepada hambanya atau sebuah benda dan hal itu tidak bisa dikatakan Syrik.
Tahlil : bid’ah hasanah
Tidak semua hal yang tidak dilakukan nabi kala itu dan kemudian dilakukan kita itu haram ataupun sesat. Nabi tidak melakukan hal tadi kemungkinan karena beberapa alasan diantaranya yaitu menjaga umatnya, atau belum dibutuhkan. hal itu bisa dijadokan alasan disebabkan shobat saat itu selalu ingat untuk mendo’akan orang lain tetapi dizaman sekarang banyak diantara kita lupa untuk mendo’akan leluhur yang sudah meninggal dunia, maka ulama’ mempunyai inisiatif untuk membuat sebuah majlis khusus guna menghidupkan sunnah nabi dan upaya agar kita ingat pada leluhur kita yang sudah meninggal dunia dan pastinya majlis khusus tadi sesuai dengan tuntunan yang ada di Al Qur’an dan Sunnah Nabi semisal mengandung bacaan Al Qur’an Kalimat tahlil 100 lebih, kalimat tasbih, tahmid, istigfar dan sholawat.
Jadi kesimpulannya, munculnya golongan orang yang mengatakan bahwa amaliyah-amaliyah yang telah diamalkan kebanyakan warga nahdhiyyin (orang NU) itu bid’ah dan sesat itu bermuara dari beberapa hal, diantaranya
Pertama, kedangakalan pemahaman tentang makna lafadz kullu pada hadis “Kullu mukhdatsatin wakullu bid’atun dlolâlah, Wakullu dlolatin fin nâr” yang mengatakan bahwa semua bid’ah (hal yang baru) itu sesat
Kedua, mengangungkan hadits yang sebenarnya tidak ada dalam hadis kitab Shohih Bukhori dan Muslim, bahkan sebagai pedoman dalam menyesatkan seseorang
Ketiga, keenggenan untuk bertanya kepada ulama tentang pemahaman dari sebuah hadits. karena yang diagung-agungkan hanya kembali kepada Al Qur’an dan hadits tanpa lewat ulama’
Maka bagi mereka penentang tahlil, mauludan ataupun yasinan harus berfikiran obyektif tentang dalil-dalil yang ada, jangan menjunjung tinggi hadits satu dan mendiskriminasikan penjelasan hadits lain yang lebih jelas keterangan. Sehingga, tidak bijaksana kalau ada segolongan orang yang mengagung-agungkan untuk kembali ke Al Qur’an dan Sunah Nabi dan mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat, padahal orang tadi justru lari dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah nabi bahkan jatuh dalam lembah bi’ah yang paling sesat dengan mengkufurkan orang lain. Allahu a’lam. [eN-Ka]

sumber :http://sirojuth-tholibin.net/2011/05/apakah-semua-bidah-sesat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

From : Mahfud